Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina
ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab.
Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan
ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada
prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu
hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti
adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama
hukumnya mustahab (sunat).
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita
mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”,
meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang
diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan
penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu
yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan
yang ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah
dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah
yang diajarkan oleh Nabi adalah:
ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﺍﻟﻠّﻬُﻢَّ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ، ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻚَ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ، ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻭَﺍﻟﻨِّﻌْﻤَﺔَ ﻟَﻚَ
ﻭَﺍﻟْﻤُﻠْﻚَ، ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻚَ Namun kemudian sabahat Umar ibn al-
Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:
ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﺍﻟﻠّﻬُﻢَّ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﻭَﺳَﻌْﺪَﻳْﻚَ ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﺮُ ﻓِﻲْ ﻳَﺪَﻳْﻚَ، ﻭَﺍﻟﺮَّﻏْﺒَﺎﺀُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ
ﻭَﺍﻟْﻌَﻤَﻞُDalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar
bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di
dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang
diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa
Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian
‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya
menjadi:
ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ Tambahan kalimat
“Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau.
Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana
Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat
“Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan
dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’)
berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang
Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku'
beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba
salah seorang makmum berkata:
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻭَﻟَﻚَ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﺣَﻤْﺪًﺍ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ ﻓِﻴْﻪِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi
yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang
dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu
Rasulullah berkata:
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺑِﻀْﻌَﺔً ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴْﻦَ ﻣَﻠَﻜًﺎ ﻳَﺒْﺘَﺪِﺭُﻭْﻧَﻬَﺎ ﺃَﻳُّﻬُﻢْ ﻳَﻜْﺘُﺒُﻬَﺎ ﺃَﻭَّﻝَ “Aku melihat
lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang
pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-
Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini
menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama;
Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di
dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua;
Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu
orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di
dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-
Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2,
h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah
sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata
“Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam
shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah
tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama
sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-
Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
ﻭَﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺰِﻳَﺎﺩَﺓِ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﻭَﺧَﺒَﺮُ " ﻻَ ﺗُﺴَﻴِّﺪُﻭْﻧِﻲ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ "
ﺿَﻌِﻴْﻒٌ ﺑَﻞْ ﻻَ ﺃَﺻْﻞَ ﻟَﻪُ “Dan tidak mengapa menambahkan kata
“Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang
berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if
bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni
Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena
di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah
(al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari
gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing.
Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar
kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”,
bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il
Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari
“Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan
bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya
hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La
Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”.
Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu
Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam
ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih
(Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata
“Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat
maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak
memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk
penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat
ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri,
menuliskan sebagai berikut:
ﺍﻷﻭْﻟَﻰ ﺫِﻛْﺮُ ﺍﻟﺴِّﻴَﺎﺩَﺓِ ﻷَﻥّ ﺍﻷﻓْﻀَﻞَ ﺳُﻠُﻮْﻙُ ﺍﻷﺩَﺏِ، ﺧِﻼَﻓًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻷﻭْﻟَﻰ
ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟﺴّﻴَﺎﺩَﺓِ ﺇﻗْﺘِﺼَﺎﺭًﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻮَﺍﺭِﺩِ، ﻭَﺍﻟﻤُﻌْﺘَﻤَﺪُ ﺍﻷﻭَّﻝُ، ﻭَﺣَﺪِﻳْﺚُ ﻻَ
ﺗُﺴَﻮِّﺩُﻭْﻧِﻲ ﻓِﻲ ﺻَﻼﺗِﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﻮَﺍﻭِ ﻻَ ﺑِﺎﻟﻴَﺎﺀِ ﺑَﺎﻃِﻞٌ “Yang lebih utama
adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal
adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat
orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan
kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid
saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang
pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”,
yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan
“ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-
Bajuri, j. 1, h. 156).
Wallahu 'alam.
ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab.
Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan
ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada
prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu
hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti
adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama
hukumnya mustahab (sunat).
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita
mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”,
meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang
diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan
penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu
yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan
yang ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah
dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah
yang diajarkan oleh Nabi adalah:
ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﺍﻟﻠّﻬُﻢَّ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ، ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻚَ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ، ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻭَﺍﻟﻨِّﻌْﻤَﺔَ ﻟَﻚَ
ﻭَﺍﻟْﻤُﻠْﻚَ، ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻚَ Namun kemudian sabahat Umar ibn al-
Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:
ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﺍﻟﻠّﻬُﻢَّ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﻭَﺳَﻌْﺪَﻳْﻚَ ، ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﺮُ ﻓِﻲْ ﻳَﺪَﻳْﻚَ، ﻭَﺍﻟﺮَّﻏْﺒَﺎﺀُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ
ﻭَﺍﻟْﻌَﻤَﻞُDalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar
bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di
dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang
diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa
Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian
‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya
menjadi:
ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ Tambahan kalimat
“Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau.
Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana
Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat
“Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan
dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’)
berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang
Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku'
beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba
salah seorang makmum berkata:
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻭَﻟَﻚَ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﺣَﻤْﺪًﺍ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ ﻓِﻴْﻪِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi
yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang
dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu
Rasulullah berkata:
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺑِﻀْﻌَﺔً ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴْﻦَ ﻣَﻠَﻜًﺎ ﻳَﺒْﺘَﺪِﺭُﻭْﻧَﻬَﺎ ﺃَﻳُّﻬُﻢْ ﻳَﻜْﺘُﺒُﻬَﺎ ﺃَﻭَّﻝَ “Aku melihat
lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang
pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-
Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini
menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang
menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama;
Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di
dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua;
Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu
orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di
dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-
Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2,
h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah
sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata
“Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam
shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah
tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama
sekali tidak bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-
Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
ﻭَﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺰِﻳَﺎﺩَﺓِ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﻭَﺧَﺒَﺮُ " ﻻَ ﺗُﺴَﻴِّﺪُﻭْﻧِﻲ ﻓِﻲْ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ "
ﺿَﻌِﻴْﻒٌ ﺑَﻞْ ﻻَ ﺃَﺻْﻞَ ﻟَﻪُ “Dan tidak mengapa menambahkan kata
“Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang
berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if
bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni
Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena
di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah
(al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari
gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing.
Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar
kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”,
bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il
Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari
“Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan
bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya
hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La
Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”.
Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu
Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam
ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih
(Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata
“Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat
maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak
memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk
penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat
ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri,
menuliskan sebagai berikut:
ﺍﻷﻭْﻟَﻰ ﺫِﻛْﺮُ ﺍﻟﺴِّﻴَﺎﺩَﺓِ ﻷَﻥّ ﺍﻷﻓْﻀَﻞَ ﺳُﻠُﻮْﻙُ ﺍﻷﺩَﺏِ، ﺧِﻼَﻓًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻷﻭْﻟَﻰ
ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟﺴّﻴَﺎﺩَﺓِ ﺇﻗْﺘِﺼَﺎﺭًﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻮَﺍﺭِﺩِ، ﻭَﺍﻟﻤُﻌْﺘَﻤَﺪُ ﺍﻷﻭَّﻝُ، ﻭَﺣَﺪِﻳْﺚُ ﻻَ
ﺗُﺴَﻮِّﺩُﻭْﻧِﻲ ﻓِﻲ ﺻَﻼﺗِﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﻮَﺍﻭِ ﻻَ ﺑِﺎﻟﻴَﺎﺀِ ﺑَﺎﻃِﻞٌ “Yang lebih utama
adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal
adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat
orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan
kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid
saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang
pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”,
yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan
“ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-
Bajuri, j. 1, h. 156).
Wallahu 'alam.